Lomba Perahu Bidar, Pariwisata Sungai Musi Palembang



Ada perahu cantik dihias cantik di Sungai Musi. Perahu tersebut bukan hanya untuk Anda nikmati warna-warninya tetapi juga untuk Anda rasakan ketegangannya beradu cepat hingga menuju garis finis.
Perahu tesebut diberi nama masyarakat Palembang sebagai perahu bidar. Panjang perahu ini 10 hingga 20 meter dengan lebar 1,5  hingga 3 meter. Perahu tradisional ini dikayuh dengan galah atau bambu. Asal kata bidar sendiri diperkirakan dari singkatan kata biduk lancar.
Dahulu perahu bidar dinamakan pancalang (pancal  yang artinya lepas dan ilang yang artinya menghilang). Dinamakan pancalang karena perahu ini dapat melaju dengan cepat dan menghilang sebagai kapal patroli Kesultanan Palembang yang perlu menjaga keamanan di lebih dari 100 anak sungainya. Perahu ini juga digunakan oleh petugas penghubung atau kurir. Kadang, keluarga sultan juga menggunakan perahu ini untuk berkeliling.
Palembang dijuluki Venesia dari Timur dimana napas kehidupan sungai sangat kentara membudaya.  Ada puluhan sungai besar dan kecil yang membelah kota ini dan lebih dari 80 persen kesibukan kota berpusat di pinggir sungainya.
Pancalang juga merupakan jenis perahu yang sering digunakan masyarakat sebagai alat transportasi Sungai Musi. Di masa lalunya perahu ini adalah perahu penumpang yang juga dijadikan sarana untuk berdagang di sungai. Saat itu bentuknya kecil dan hanya muat untuk satu orang. Perahu ini juga biasanya dilombakan dalam acara yang dinamakan Kenceran, dimana satu perahu didayung oleh belasan orang. Kini acara tersebut dilestarikan dalam acara Festival Perahu Tradisional setiap hari jadi kota Palembang dan Hari Kemerdekaan RI.
Perahu yang biasanya dilombakan bertepatan dengan Hari Jadi kota Palembang pada setiap 17 Juni adalah dari jenis Perahu Bidar Berprestasi. Perahu tersebut memiliki panjang 12,70 meter, tinggi 60 cm, dan lebar 1,2 meter. Jumlah pendayungnya 24 orang, meliputi 22 pendayung, 1 juragan dan 1 tukang timba air.
Perahu yang biasanya dilombakan bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia adalah dari jenis Perahu Bidar Tradisional. Perahu tersebut memiliki panjang 29 meter, tinggi 80 cm, dan lebar 1,5 meter. Jumlah pendayungnya 57 orang meliputi 55 pendayung, 1 juragan perahu, dan 1 tukang timba air.
Menurut cerita rakyat dari Sumatera Selatan (B. Yass: 2000),  lomba perahu bidar adalah untuk menghormati dan menyanjung Dayang Merindu yang berlaku adil terhadap 2 orang pemuda yang mencintainya. Dikisahkan orang tua Dayang Merindu menjodohkannya dengan seorang pemuda bernama Dewa Jaya yaitu anak dari sahabat ayahnya. Meski belum mau menikah tetapi Dayang Merindu menghormati keinginan perjodohan orang tuanya dengan tidak menolak pertunangan tersebut. Dalam masa pertunangan ternyata Dayang Merindu bertemu pemuda yang membuatnya jatuh hati yang bernama Kemala Negara. Pemuda ini kemudian bersama orang tuanya melamar Dayang Merindu tetapi sayang gadis cantik dan berbudi ini sudah ditunangkan.
Kemala Negara yang mengetahui Dayang Merindu sudah dilamar Dewa Jaya merasa tidak terima. Ia kemudian menantang Dewa Jaya untuk beradu pencak silat disaksikan seluruh kampung selama setengah hari. Akan tetapi, hasilnya tidak ada yang menang karena seimbang. Oleh karena itu, dialihkanlah pertarungannya dengan cara lomba memacu perahu di Sungai Musi. Seluruh masyarakat di sekitar Musi memperbincangkan perseteruan ini dan memenuhi sekitaran sungai untuk menyaksikan siapa yang menang dan mendapatkan Dayang Merindu.
Saat dua perahu dilombakan, keduanya mengeluarkan seluruh tenaga dan kemampuan untuk mencapai garis akhir. Hasilnya, ternyata keduanya kembali seimbang dengan bersamaan tiba di tujuan. Akan tetapi, terkejutlah semua orang karena kedua pemuda ini tiba dengan badan tertelungkup dan sudah tidak bernyawa. Dayang Merindu pun bersedih hingga akhirnya ia memutuskan untuk meminta agar badannya dibelah dua dan dikuburkan sebelah badannya bersama Dewa Jaya dan sebelah lagi bersama Kemala Negara. Akan tetapi, sebelum keinginan tersebut dikabulkan, ujung pisau kecil ditusukkan Dayang Merindu ke dadanya.
Untuk menghormati Dayang Merindu maka masyarakat Palembang melombakan perahu bidar ini secara rutin. Kisah ini juga dipentaskan dengan tari sebagai perlambang kecantikan, kejujuran, penghormatan kepada orang tua, serta kemampuan bertindak adil terhadap orang yang telah berkorban jiwa karena mencintainya.